Semenjak tahun 1960
filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan
pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh
positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai
andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung
secara mengesankan.
Pada periode ini berbagai
kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil,
namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan.
Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika
Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan
kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa
genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan
cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui
internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano
teknologi , dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya
guna sangat luar biasa.
Semua keberhasilan ini
kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan
teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free
of value telah membuktikan
kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar
dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan
itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana,
dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan
dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena
manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan
keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di
mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali. Kesuksesan
manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik
untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru
sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum
positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi kritik di kalangan ilmuwan
tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik
Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik
terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap
determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme
ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang
oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan
mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan
pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan
oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan
aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat
diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik
Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang
tidak kuasa menantang sistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4)
mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme
yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.
Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu
kebenaran. Rich (1979) mengemukakan “There
is no the truth nor a truth – truth is not one thing, – or even a system. It is
an increasing completely” Pengalaman
manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuah teori.
Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada
pula penelitian yang netral.
Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai
makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self
deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang
berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam
penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi.
Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’,
historically embeded, and valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa
hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus
selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan
diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat
kepercayaan hasil penelitian.
Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas
Kuhn dalam bukunya The
Structure of Scientific Revolutions (1962)
bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini
sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik,–yang
dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan–, menuju
paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John
M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir
ini, –perubahan yang sering disebut purna-modern,
meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3)
fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang
berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma
kultural,– terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar