Sebagai makhluk yang
diberkati intelektual, manusia adalah pemeran utama dalam kehidupan ini. Segala
bidang membentuk suatu sistem di dalamnya. Melalui waktu, kehidupan dapat
berubah. Entah itu bentuk, nilai, atau kualitasnya. Semua berpusat pada
manusia, si pelaku sejarah. Indonesia adalah suatu bangsa
yang utuh dan bersatu sejak zaman purbakala dan bahwa keutuhan sejarahnya hanya
terganggu oleh intervensi kolonial. Tetapi ketika kolonialisme telah mulai
secara intelektual diartikan sebagai penghinaan atas harkat diri dan sebagai
penghisap kekayaan tanah air, maka ketika itu pula pergerakan rakyat mulai
memvisualisasikan kehadiran adanya sebuah “bangsa”, yang melampaui ikatan
lokalitas dan etnis. (Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 12 No. 2 Tahun
2010).
Kondisi Indonesia sebagai Negara kepulauan
dengan berbagai suku bangsa yang memiliki keragaman pola pikir, seni, agama,
pengetahuan, bahasa serta tradisi budaya local dengan karakteristik yang unik
dan berbeda. (Jurnal Ilmiah WIDYA, Volume 1 No. 1 Mei-Juni 2013). Daerah
perbatasan antarnegara dapat dipahami bukan sebagai batas geografis spasial
semata. Namun juga dimaknai sebagai konstruksi sosio-kultural.
Kelompok-kelompok social antarnegara sering saling melintas batas Negara dan
menjalin interaksi sosial yang intens. Permasalahan yang dikhawatirkan akan
muncul di daerah perbatasan adalah rentannya ketahanan budaya masyarakat di
wilayah tersebut karena terpengaruh oleh budaya negeri jiran. (Jurnal
Kebudayaan, Volume 7 No. 1 Tahun 2012).
Perencanaan ruang pada lingkungan masyarakat
tradisional lebih di dasarkan pada sistem pengetahuan local tentang perencanaan
yang terdiri atas sistem nilai dan konsep local, serta kepercayaan dan
pengetahuan local tentang perencanaan tata ruang yang memiliki peranan dalam
usaha menjaga kontinuitas dimensi kultural yang seringkali diabaikan oleh
perencanaan. (Local Wisdom-Jurnal Ilmiah Online, ISSN: 2088-3784). Dari
beberapa kutipan di atas, tentu kita dapat mencerna apa sebenarnya masalah yang
sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia?!
Pertama, kita kembali pada Indonesia ketika
zaman penjajahan. Pertanyaannya, mengapa bangsa-bangsa lain menjajah negeri
kita? Apa yang sebenarnya mereka cari? Yang ironinya penjajahan berlangsung
selama 350 tahun lebih itu. Telah kita tahui secara gamblang, bahwasanya
Indonesia merupakan sebuah Negara dengan kekayaan alam yang meruah. Kalimantan
sebagai daerah penghasil intan, Sulawesi kaya akan mutiara, papua dengan
pertambangan emasnya, dan banyak lagi daerah di Indonesia yang kaya akan sumber
daya alam. Tetapi Indonesia bukanlah Negara yang termasuk ke dalam 10 negara
dengan ekonomi terkuat di dunia. Kemanakah semua kekayaan itu perginya?!
Indonesia, seolah menjadi budak bagi bangsa-bangsa asing. Mereka mengambil alih
semua titik kekayaan Indonesia. Menjadikan anak bangsa sebagai pekerja,
mengeruk habis bumi tempat tinggalnya sendiri tetapi bangs lainlah yang
menikmati hasilnya. Sungguh ironi.
Kedua, keragaman yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia merupakan kekhasan sendiri di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Dan
akan lebih bangga lagi apabila kita dapat hidup berdampingan secara damai di
antara sekian banyak perbedaan itu. Namun pemikiran demikian itu tak sampai
hinggap di sebagian kepala bangsa Indonesia. Dewasa ini telah kita tahu
sendiri, maraknya perpecahbelahan antar suku, agama, dan budaya. Seperti
contoh, konflik di Poso, Sulawesi selatan. Perperangan antar warga terdengar
begitu menyedihkan.
Ketiga, mengenai daerah perbatasan. Apabila
kita pasang teropong, dan mengarahkannya ke Pulau Kalimantan yang berbatasan
dengan Malaysa. Akan nampak sebuah daerah lusuh bagai pakaian kotor yang
terkesampingkan, tidak ikut terrawat oleh pemiliknya. Begitulah singkatnya
gambaran daerah tersebut. Yang lebih miris didengar, dialek yang digunakan
oleh masyarakat daerah tersebut merupakan bahasa dan dialek yang kental
akan Melayu. Keterbatasan sarana umum pun membuat mereka kewalahan apabila
sedang butuh. Tetapi mereka seringkali lebih memilih pergi ke negeri jiran
untuk memenuhi kebutuhan daripada ke seberang menuju Kalimantan tengah. Dengan
alasan, “Lebih dekat apabila kami pergi ke Malaya daripada ke kota Kalimantan.
Lagipula, di Malaya kami merasa lebih dihargai”. Apa gerangan yang terjadi?
Terakhir, mengenai perencanaan pembangunan
masyarakat tradisional. Yang seringkali diberdayakan untuk kepentingan Negara
semata, tanpa memandang sisi kultur dan lokalitas yang sebenarnya harus dijaga.
Seperti halnya yang terjadi di kecamatan Bayah, Lebak, Banten. Di daerah
tersebut sedang berjalan pembangunan pabrik semen besar beserta pembangunan
lalu lintas darat dan laut. Sebenarnya pembangunan tersebut akan berdampak
buruk kepada lokalitas daerah di kemudian hari. Bayah, yang istimewa akan
keindahan pantainya, sebentar lagi akan terpapar polusi besar di udara dan
lautnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar