![http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/1232979/big/064809000_1463198806-20160513-Tradisi-Seba-Baduy-Kecil-Banten-FP1.jpg](file:///C:/Users/raynt/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
SEJARAH SUKU BADUY
Sejarah suku baduy
menurut para ahli berdasarkan pada penemuan prasati sejarah kemudian ditelusuri
melalui catatan para pelaut Portugis dan Tiongkok dan dihubungkan dengan cerita
rakyat sunda.
Menurut para ahli sejarah
masyarakat baduy memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajara. Pada saat itu
Pangeran Pucuk dari Kerajaan Pajajaran memerintahkan prajurit pilihan untuk
menjaga kelestarian Gunung Kendeng. Lalu para prajurit bermukim dan bertugas
disana. Dengan kesimpulan bahwa sejarah suku baduy berasal dari pasukan yang
diutus oleh Pangeran Pucuk dan menutup identitas mereka terhadap masyarakat
luar agar tidak diketahui oleh musuh-musuh dari Kerajaan Pajajaran.
Sejarah suku baduy versi
dr. Van Tricht yang berkunjung ke baduy pada tahun 1982 dan megadakan
penelitian kesehatan disana berpendapat bahwa masyarakat suku baduy sudah ada
sejak lama dan merupakan masyarakat asli wilayah tersebut. Dan dahulunya
terdapat Raja yang berkuasa di wilayah tersebut. Bernama Rakeyan Daramasiska
untuk memerintyahkan masyarakat baduy untuk tinggal didaerah tersebut dengan
tujuan memlihara kebuyutan (ajaran nenek moyang) dan menjadikan kawasan
tersebut suci atau mandala. Dan sampai sekarang masyarakat baduy masiyh
memegang teguh kepercayaan tersebut.
BAHASA SUKU BADUY
Suku baduy menggunakan
bahasa dialek sunda-banten untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar.
Masyarakat suku baduy menegerti bahasa indonesia walaupun mereka tidak
mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Karena masyarakat baduy tidak
mengenal sekolah sehingga mereka tidak menegenal budaya tulis. Usaha pemerintah
untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah tersebut ditolak keras. Menurut
mereka pendidikan sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.
KEPERCAYAAN SUKU BADUY
Kepercayaan suku baduy
adalah sunda wiwitan yang berakar dari pemujaan kepada arwah nenek moyang
(animisme) yang dipengaruhi juga oleh agama Budha dan Hindu. Kepercayaan
tersebut ditujukkan dengan adanya “pikukuh” atau adat mtlak yang dianut dalam
kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari “pikukuh” yaitu konsep “tanpa ada
perubahan apa pun “ :
Lojor henteu beunang
dipotong, pendek henteu beunang disambung
( panjang tidak boleh
dipotong, pendek tidak boleh disambung)
Dalam konsep pikukuh tersebut
diterapkan oleh suku baduy pada bidang pertanian dengan tidak mengubah bentuk
kontur ladang. Dan tidak mengolah lahan dengan cara dibajak atau di terasering.
Masyarakat baduy hanya menanam tugal atau bvambu yang diruncingkan. Pada kontur
pembangunan rumah permukaan tanah dibiarkan tidak merata apa adanya sehingga
banyak rumah suku baduy yang tidak sama panjang.
Objek kepercayaan
masyarakat suku baduy yang terpenting adalah arca domas. Lokasi tersebut sangat
rahasia dan sakral. Mereka mengunjungi rumah tersebut pada bulan kelima setiap
satu tahun sekali untuk melakukan pemujaan yang diketuai oleh ketua adat.
Ditempat tersebut terdapat batu lumpang yang menyipan air hujan. Bila batu
lumpang tersebut berisi banyak air akan menandakan panen akan lancar dan
berhasil dengan baik. Dan bila batu lumpang tersebut kering merupakan tanda
bahwa panen akan gagal.
PEMBAGIAN MASYARAKAT
BADUY
Masyarakat suku baduy
terbagi dalam dua kelompok yaitu suku baduy luar dan suku baduy dalam. Kelompok
terbesar disebut dengan baduy luar atau urang penamping yang tinggal disebelah
utara Kenakes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan
8 anak kampung. Mereka tinggal didaerah cikadu, kaduketuk, kadukolot, gajeboh
dan cisagu yang mengelilingi baduy dalam. Masyarakat baduy luar berciri kghas
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam dan sudah dapat berbaur
dengan masyarakat sunda lainnya. Ciri-ciri lain dari masyarakat suku baduy luar
antara lain:
• Mereka telah mengenal
teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan
larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
• Proses Pembangunan
Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji,
palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
• Menggunakan pakaian
adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa
mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan
celana jeans. (BL)
• Kelompok masyarakat
panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi
(di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh,
Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
Sementara di bagian
selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka
berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana.
Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan
masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam
tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka,
mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung
yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua
kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy
Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam
dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang
biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.
Suku baduy dalam belum
mengenal budaya luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal
kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku
baduy dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka
menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk.
Suku baduy dalam di kenal
sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka
memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa
golok. Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua
yang di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya
para perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai
pakaian modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai
kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil
berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti
Hp dan TV.
Masyarakat Baduy sangat
taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai
pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran
Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam
dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk
pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung
Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan
wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru
bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di
Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro
Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
MATA PENCHARIAN SUKU
BADUY
Mata pencarian masyarakat
Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta
membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan
sebagian kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang dianut masyarakat
Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak
tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk
ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena
getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.
Prinsip kearifan yang
dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil
sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara
ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan
merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy
terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan
dalam prinsip hidup sehari-hari.
Orang Baduy tak saja
mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka tak membeli
beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain
sendiri.. Kayu sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di hutan mereka,
yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan
hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120
titik mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku
Baduy.
Kemandirian mereka dari
hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain tampak pada
beberapa hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan listrik. Dalam
bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka juga
membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur seperti
jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.
INTERAKSI DENGAN
MASYARAKAT LUAR
Masyarakat Kanekes yang
sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat
terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia
luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke
dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan Seba (halaman belum tersedia) ke Kesultanan Banten (Garna, 1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali,
berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur
Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di
bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat
luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada
waktu yang lampau dilakukan secara Barter, sekarang ini telah mempergunakan
mata uang Rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula
kawung/aren melalui para Tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang
tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar
wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar
yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang
per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga
para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut,
bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di
sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing
(non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu
ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di
ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka
pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke
rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil
kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan
uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar